Lambang Palang Merah Hanya Boleh Digunakan Oleh PMI dan Dinas Medis TN
SIAPA yang tidak mengenal lambang palang merah dan bulan sabit merah? Hampir dapat dipastikan bahwa mayoritas masyarakat pasti mengenal lambang ini. Bahkan, khususnya lambang palang merah masuk dalam kategori logo atau lambang paling terkenal di dunia, selain logo Coca Cola dan Mc Donalds.
Namun, saat ini, banyak pihak yang menggunakan lambang palang merah dan bulan sabit merah. Di Indonesia masyarakat umumnya mengenal lambang palang merah dan bulan sabit merah sebagai lambang kesehatan, obat, rumah sakit, dan segala hal yang berhubungan dengan medis.
Namun, saat ini, banyak pihak yang menggunakan lambang palang merah dan bulan sabit merah. Di Indonesia masyarakat umumnya mengenal lambang palang merah dan bulan sabit merah sebagai lambang kesehatan, obat, rumah sakit, dan segala hal yang berhubungan dengan medis.
Padalahal sejatinya, kedua lambang tersebut tidak boleh digunakan dalam sembarang kegiatan, bahkan yang berkaitan dengan urusan medis sekalipun. "Hanya perhimpunan nasional dan kesatuan medis militer suatu negara saja yang berhak menggunakan lambang-lambang tersebut," kata Legal Advisor Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Rina Rusman, dalam acara Media Briefing Sosialisasi RUU Kepalangmerahan, di Jakarta, Rabu (18/7).
Menurut Rina, hal itu sudah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-20 di Wina, tahun 1965. Ia menjelaskan, dalam Konvensi Jenewa 1949 disebutkan bahwa lambang palang merah dan bulan sabit merah, hanya diperuntukan bagi dinas kesehatan angkatan perang suatu negara serta perhimpunan nasional yang dibentuk atau ditunjuk oleh negara. "Jadi, hanya dinas kesehatan angkatan laut, darat, udara dan PMI saja yang berwenang menggunakan nama dan lambang palang merah. Pihak lainnya dilarang menggunakan lambang palang merah," ujarnya.
Rina menjelaskan bahwa bebasnya penggunaan lambang-lambang milik dinas kesehatan angkatan perang dan perhimpunan nasional, artinya adalah pengguna lambang itu tidak sah menggunakannya. Hal itu bisa berarti memberi kesempatan angkatan perang negara lain untuk menilai, misalnya, apakah penggunanya adalah mata-mata atau bukan. Jika demikian, pada akhirnya akan merugikan dan membahayakan semua pihak. "Bisa jadi pihak yang sah pun dianggap tidak sah menggunakannya, dan akses untuk menolong korban dapat menjadi terbatas," kata Rina.
Oleh karena itu, menurut Rina, seluruh negara harus konsekuen untuk mencegah penyalahgunaan lambang-lambang Kenvensi Jenewa, termasuk dengan mentertibkan tata cara penggunaannya. Maka, LSM dan pihak lain apa pun kegiatannya, dilarang menggunakan lambang-lambang milik dinas kesehatan angkatan perang dan perhimpunan nasional.
"Jika ada pelanggaran, pelanggarnya dapat dikenakan sanksi," kata Rina. Sanksinya bisa pidana atau perdata yang mengacu pada UU No. 23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya, dimana sanksi pelanggarnya adalah hukuman kurung selama-lamannya sembilan bulan, dan denda setinggi-tingginya 20 ribu rupiah.
Ia mengusulkan agar pihak-pihak yang terlanjur menggunakan nama dan lambang palang merah dan bulan sabit merah, merubah nama dan logonya secara keseluruhan, atau nerubah warnanya menjadi warna yang lain. "Misalnya palang hijau atau bulan sabit hijau. Yang penting warnanya bukan merah, warna dan sebutan merah untuk palang merah," kata Rina.
Sumber : Jurnas
Gabung dalam percakapan